Backpacking: Danau Serantangan, Singkawang ( 2 )

Jutaan butir air berlomba turun dari langit, sebagian langsung berkumpul di danau, sebagian merayapi daun-daun dan rerumputan, dan sebagian kecil membasahi pakaian kami yang sedang duduk diatas perahu sambil berdoa semoga awan bersedia menunda keberangkatan butir air dari tubuhnya ke muka bumi.  Posisi perahu sekarang berada di di tengah bagian danau yang luas, udara tampak seperti berkabut karena butir-butir air. Doa kami belum dikabulkan oleh-Nya, hujan semakin deras mendera danau.  Semua jas hujan yang dibawa dikeluarkan agar pakaian kami tidak basah, sekaligus melindungi seorang ibu dan anaknya yang masih balita.  Nahkoda mengalah, perahu diarahkan ke salah satu sisi tepi danau yang dirimbuni pepohonan.


Durian di Tepian Danau Serantangan

Bergiliran kami naik ke darat membawa daypack masing-masing, hujan membuat tanah menjadi becek dan menempel di telapak sepatu dan sandal.  Kami mengikuti langkah penduduk setempat yang satu perahu dengan kami menuju sebuah gubuk kecil dibawah rimbunnya pepohonan, sekeping seng di dindingnya menyatakan gubuk tersebut adalah peniggalan proyek pemerintah yang pernah dilaksanakan disana.  Beberapa buah durian bertumpuk di atas meja tepat di depan tempat kami duduk.

“Berapelah hargenye tu bang?” Tipeh bertanya harga durian didepan kami yang menggugah selera, apa dia pikir saya yang jual durian-durian itu.  Kondisi di dompet membuat ku harus berpikir 100 kali sebelum bertanya, “Tanyaklah sorang!”, tidak enak rasanya kalau bertanya tanpa niat untuk membeli. Durian itu hanya jadi hiburan mata, tidak untuk lidah.

Hujan mulai mereda, namun tidak juga benar-benar berhenti dan meninggalkan gerimis sambil sesekali menjadi lebat untuk beberapa detik. Nahkoda kembali menuju perahu dan dibelakangnya kami para penumpangnya bergegas menyusul.  Perahu kembali membelah danau meniggalkan buih-buh putih dibelakangnya seperti pesawat jet.
Rumput rawa menari saat gelombang dari perahu kami menyapa mereka, pada beberapa bagian danau ini memang agak dangkal dan dapat dilihat dari kumpulan rumput yang tumbuh dan muncul dari permukaan danau.  Nahkoda sudah tau benar mana bagian yang lebih dalam dan melalui bagian itulah dia mengarah kan perahu.


Pemandangan Danau Serantangan

Meninggalkan bagian danau yang luas, perahu masuk ke bagian yang lebih mirip sungai daripada danau.  Sebuah lanting yang mengapung dengan bantuan beberapa drum plastik dibawahnya menyambut kedatangan kami di pemukiman penduduk yang hanya terdiri dari beberapa rumah.  Mungkin hujan membuat penduduk enggan untuk keluar rumah karena saya lihat kampung ini sepi saja.  Haluan perahu telah menyentuh tanah disamping sebuah rumah yang relatif besar mengingat tempatnya yang jauh dari keramaian.  Satu-persatu, kembali kami turun dari perahu dan dengan enggan menginjak tanah yang lebih becek dari pada tempat kami berteduh sebelumnya.

Berjalan mengikuti jalan setapak yang kami tidak tahu kemana arahnya, kami berharap menemukan tempat untuk berteduh dan beristirahat.  Setelah memperhatikan dengan seksama, ternyata jalan setapak yang kami lewati berada diatas gundukan tanah yang diapit telaga yang merupakan bagian dari danau.  Dalam beberapa menit, kami sampai di satu kelokan yang pada sisi dalam kelokannya terdapat sebuah gubuk yang tampak masih kuat.  Tidak tertarik dengan gubuk tersebut, kami tetap melanjutkan langkah kami.  Namun karena tidak menemukan juga tempat yang dapat kami duduki dengan nyaman, kami kembali ke gubuk tadi. 

Langit mulai gelap, dan hujan masih belum mau pergi dari danau yang memiliki banyak anak sungai ini.  Sepanjang jalan kami tidak melihat tanda-tanda ada pemukiman penduduk, dari pada terus kehujanan akhirnya kami putuskkan untuk berteduh dan bermalam di gubuk dekat tikungan tadi.
Rumput-rumput liar tumbuh di sekitar tempat cucuran air hujan dari bagian atap gubuk.  Sebuah papan nama berwarna hijau yang menempel di dinding menjelaskan bahwa gubuk ini merupakan bagian dari proyek Reboisasi dan Penghijauan yang telah selesai dilaksanakan tahun lalu.  Dibawah papan nama tadi berdiri sebuah meja kecil yang hampir tertutupi rimbunan  tanaman cabai rawit. 

Pintu masuk ke dalam gubuk disamping meja kecil tadi tertutup dan digembok, memancing rasa penasaranku apa yan ada dalam gubuk yang sudah hampir setahun ini ditinggalkan para pekerjanya.  Kucoba memanjat dan melihat apa yang ada di dalamnya, ternyata…hanya beberapa tikar lusuh dan kotak-kotak obat nyamuk.  Niat untuk masuh menerobos pintu sepertinya harus diurungkan, mengingat tempat ini pasti sudah lama tidak di kunjungi penduduk.

Cukup Handal!
Lepas waktu isya, hujan deras dan angin yang bertiup kencang kembali menyapu danau. Butiran air menjangkau tempat kami duduk walaupun sudah di bagian bawah atap 3x4 meter. Kilat beberapa kali menerangi kami disusul dengan suara petir yang terdengar beberapa saat kemudian.  Suasana terasa sangat tidak menyenangkan melanda kami, tapi masalah hujan ini belum seberapa dibanding kejadian selanjutnya.


Para Petualang Tersebut

Saat hujan telah reda dan hanya menyisakan udara dingin yang, Agri menyalakan api yang sempat padam karena angin yang berhembus kencang dengan kayu yang telah dikumpulkan saat senja tadi.  Sambil menjaga api agar tetap nyala, kami mengevaluasi perjalanan yang ternyata sangat buruk dalam perencanaan. Beberapa hal yang dapat menjadi catatan untuk perjalanan; Pertama, siapa yang menjadi penanggung jawab dalam perjalanan, istilah umumnya “Kepala Jalan”, dan tentang siapa yang bertanggung jawab untuk berbagai kebutuhan selama perjalanan, misalnya konsumsi, transportasi, konsumsi, dll, Kedua perkirakan waktu tempuh yang paling dekat dengan kenyataannya. Ketiga, dimana tempat akan menginap, apakah di tengah hutan atau menumpang dirumah masyarakat, apakah perlu memberi tahu pihak yang ada di lokasi bersangkutan. Dan terakhir, the last but not least….pastikan membawa perlengkapan standar lapangan kalau mau kelapangan.

Jangankan doom, matras saja kurang untuk tidur.  Jadi kami berbagi jas hujan sebagai alas tidur.  Sesekali air merembes di antara jas hujan yang kotor karena tanah yang becek.  Menjelang tengah malam ribuan vampir dari golongan insecta menyerbu kami dari berbagai arah, mungkin saat hujan tadi mereka tidak mampu melawan angin.  Bergentayangan dengan jumlah yang tak mungkin kami hitung, mereka mulai hinggap dan menghisap darah kami dengan mulut pipanya yang khas nyamuk penghuni rawa.  

Bukan gatal yang terasa saat liur vampir-vampir tersebut masuk ke dalam kulit kami, tetapi rasa sakit yang terasa sampai ke hati.  Kenapa sampai ke hati? Karena mulut pipa mereka mampu menembus pakaian kami, bahkan celana jins sekalipun.  Sedikit saja ada bagian tubuh yang tidak tertutupi pelindung, secara berjamaah mereka langsung mengerubunginya.  Sayang ukuran mereka terlalu kecil untuk di abadikan dalam kamera.  Malam itu, kami sukses begadang sambil menahan dendam dan sakit hati terhadap vampir-vampir kecil tersebut.  Tapi tidak sebesar dendamku pada pengkhianat rakyat di sana.


Dibawah teror serangga vampir

Di tengah malam saya keluar dari camp saya mencari kayu bakar bersama kojay karena kayu bakar hampir habis, sementara udara semakin dingin.  Tepat di depan gubuk seberang jalan setapak tampak sebatang pohon yang sudah mati, cukup potensial untuk dijadikan kayu bakar.  Saya memanjat pohon tersebut untuk menumbangkannya dengan cara menggoyangnya agar patah di bagian pangkal.  Saat bergoyang diatas pohon tersebut saya mendengar suara tawa wanita yang cukup nyaring, saya pikir itu suara yanet dan jumi yang sedang ngobrol di bawah atap gubuk.  Setelah mendapatkan kayu, kami kembali ke gubuk. 
“Ape yang kita’ ketawakan tadi?”, Saya langsung bertanya kepada yanet dan jumi tentang apa yang mereka tertawakan.
“Ha? Ketawa?” yanet menjawab dengan pertanyaan balik dibarengi wajah kebingungan yang menempel di kepala Jumi. 
“Dak ade kami ketawa tadi jan!”, yanet menimpali jawabannye sebelum Saya bertanya lagi.  Dalam hati, Saya bertanya”Jadi yang tertawa tadi siapa ya?”, namun hal ini tidak Saya perpanjang dengan mereka karena suasana akan menjadi semakin tidak enak karena kami masih berhdapan dengan nyamuk.  Sayapun langsung mengalihkan pembicaraan dan kami mengobrol tak tentu arah sambil menikmati “secangkir kopi bersama sahabat”.  Hingga menjelang subuh saat nyamuk-nyamuk mulai kembali ke campnya masing, barulah kami bisa tidur walaupun hanya dua atau tiga jam.


Obrolan pagi hari

Bangun pagi setelah tidur yang singkat, kami berkemas dan bersiap-siap menuju ke tempat kami diturunkan dari perahu kemarin. Setelah bernarsis ria didepan kamera kami pun melangkahkan kaki untuk menunggu jemputan.  Waktu menunggu yang cukup lama sangat terasa membosankan.  Untuk membunuh waktu, Majid dan Tipeh meminjam perahu penduduk dan mengayuh perahu tersebut menelusuri sungai yang merupakan bagian dari danau.  Saya dan yanet mencoba hunting photo walaupun hanya dengan kamera pocket.  Sisanya berbincang-bincang di dekat tempat perjanjian penjemputan.


Ready to go home



Bersampan di Danau Serantangan

Air tidak lagi jernih, pasir bekas penambangan bertumpuk di dekat setiap mesin dompeng tersebut.  Yang Saya khawatirkan, air yang semalam kami minum dan gunakan untuk masak ternyata kemungkinan besar telah tercemar merkuri.  Tapi bagaimana dengan penduduk disini yang setiap harinya berinteraksi dengan air danau, bahkan mereka juga memakan ikan yang ditangkap di danau ini.  Khawatir dengan diri sendiri, dengan penduduk sekitar danau, namun khwatir tinggal khawatir.  Bayangan tempat tidur dirumah membuat kami lupa dengan cerita mesin-mesin dompeng yang terus meraung mengiringi kepulangan kami.


Perahu Pulang

Langit sangat cerah hari ini, dengan sedikit memicingkan mata kami dapat melihat birunya langit, bahkan pantulannya cukup jelas di permukaan danau.  Perahu mulai meninggalkan daratan dan membawa kami melintasi tengah danau.  Saat sampai di bagian danau yang tadinya tidak tampak karena terhalang semak-semak kami di suguhkan pemandangan yang sangat menyedihkan.  Ternyata sebagian danau ini merupakan lokasi PETI, suara-suara mesin dompeng semakin keras terdengar saat perahu kami mendekat ke mereka.  Nahkoda perahu memang sengaja mengajak kami untuk melihat lebih  dekat kegiatan mereka.


Aktifitas PETI

Meskipun semalam kojay sempat mengatakan “mengapa Saya disini? Padahal dirumahnya ada kasur yang empuk!”.  Mungkin kedengaran cemen, tapi sebenarnya kata-kata itu hanya gurauan-gurauan ironi kami. Seperti sebelum-sebelumnya, kata-kata itu hanya kata-kata yang tidak berarti, karena….

KAMI SELALU SIAP UNTUK PETUALANGAN-PETUALANGAN YANG SELANJUTNYA…

0 comments:

Post a Comment